Dua hal penting:
Mengeluarkan suara dan berimajinasi
Kakek saya sangat keras kepada saya. Sebagai pewaris klinik kedok teran Timur, sejak masih sangat kecil Kakek sering mendudukkan saya di sisinya dan melatih saya untuk melakukan pertolongan per tama. Kakek tidak secara terang-terangan mengajarkan sesuatu kepada saya dan saya juga hanya mengamati dengan diam.
Setelah beberapa saat, tiba-tiba saya diminta untuk memijat. Tentu saja hal ini membuat pasiennya terkejut. Sering kali wajah mereka seperti mengatakan, "Yang benar saja menyuruh anak seke cil ini melakukannya?". Tetapi Kakek menandai daerah yang akan dipijat dengan tinta hitam. Pertama-tama karena masih anak-anak,saya memijatnya dengan kaki. Akan tetapi kemudian saya bisa me mijat dengan menggunakan tangan..
Ada tujuh lapisan otot. Pada saat kesakitan, otot menjadi sangat kaku. Pada saat itu jika kita memijat menggunakan jari, tidak akan mengena di titik acupressure-nya. Maka sampai lapisan pertama dan kedua otot melembut, dilakukan pijatan dengan kaki. Jika sudah demikian, titik acupressure dapat dijangkau dengan jari.
Kalau titik acupressure si pasien sudah tersentuh, hanya dengan pijatan anak kecil seperti saya, orang dewasa yang berbadan besar pun berteriak kesakitan, "Auwww!!" Hal ini menjadi sensasi yang menyenangkan bagi saya. Saat itu, tanda tinta hitam yang dibuat kakek pun menghilang. Hanya dengan menyentuh badan pasien, kita dapat mengetahui di mana letak titik acupressure.
Singkatnya dapat dikatakan kita "memanggil" titik acupressure nya dengan menyentuh tubuh pasien. Ini merupakan dasar peng obatan Timur yang saya pahami dan ingat sejak kecil.
Awalnya orang dewasa yang bodoh, lama kelamaan menjadi fans saya, waktu kakek tidak ada mereka sering meminta saya untuk memijatnya, "Ayo tolong pijat sedikit." Kemudian saya pun membe rikan jasa memijat itu. Memijat menjadi suatu pengalaman dari apa yang saya lihat. Akan tetapi kakek sering memberikan pertanyaan tentang hal-hal berbeda lainnya.
Misalnya, saat mengajak saya ke taman, Kakek bertanya, "Menga pa daun jatuh?" Lalu di tepi kolam Kakek bertanya, "Apa ini?" "Air", jawab saya. "Apakah air itu?" tanya Kakek lagi. Saya diam, "...". Kalau saya tidak dapat menjawab, Kakek akan mengatakan, "Ayo pikirkan sampai kamu dapat memahaminya." Lalu Kakek pergi entah ke mana.Perintah Kakek adalah suatu keharusan, namun setelah beberapa lama berada di sana ada teman yang mengajak bermain, "Ayo main!!" Namanya masih anak-anak, saya pun pergi bermain. Sebagai hu kumannya Kakek mengikat saya di pohon. Diikat di pohon sungguh tidak menyenangkan karena itu saya berusaha mati-matian men jawab pertanyaan kakek.
Akhirnya setiap melihat sesuatu, saya akan berpikir, "Kalau saya menjadi Kakek, apa yang akan saya tanyakan, ya? Kalau saya men jawab seperti ini Kakek akan menanyakan ini lagi.... Kalau saya men jawab ini, Kakek akan menanyakan itu lagi..."
Demikianlah saya pun jadi bertanya jawab sendiri. Sebenarnya dengan cara demikianlah Kakek mengarahkan dan mendidik saya. Kakek sangat keras kepada saya, tetapi di satu sisi Kakek adalah orang yang sangat mengutamakan saya. Kakek juga sesorang yang
ahli membangkitkan semangat. Apabila saya dapat menjawab per
tanyaannya dengan baik, Kakek tanpa ragu memberikan pujian, "Wah, hebat. Kamu sangat berbakat." Di musim dingin, saat Kakek mengikat saya di pohon sampai saya berpikir hampir mati, sete lahnya Kakek akan memasukkan saya ke ofuro (bak mandi air panas red.) dan menghangatkan saya dengan dirinya sendiri dengan pe nuh kasih sayang. Karena Kakek seorang yang tinggi besar, saya pun merasa tenang sepenuhnya. Kehangatan itu masih membayang jelas dalam ingatan saya.
Kakek juga mengajarkan saya bagaimana cara belajar dan be kerja. Dalam hal apa pun "Kamu harus bisa ingat dalam satu kali saja". Agar bisa demikian ada dua metode yang disampaikan oleh Kakek. Yang pertama adalah, "Mengeluarkan suara".Saya dengan polos mematuhi ucapan Kakek, jika saya berpikir apa yang diajarkan guru adalah hal yang penting, saya akan bergu mam mengulangi perkataannya. Guru dan teman-teman pun mengeluh, "Haruyama, berisik kalau kamu berbisik-bisik seperti itu." Akan tetapi, berkat hal itu, selama sekolah saya tidak perlu mela kukan persiapan atau mengulang pelajaran. Karena apa yang di ajarkan telah saya ingat dalam satu kali saja.
Satu hal lagi adalah "Mengingat dengan menggambarkannya di dalam kepala". Sampai sekarang pun saya masih sering mempraktik kannya. Misalnya saat memberikan pidato di acara pernikahan. Ada banyak hal yang saya tidak tahu. Pada waktu itu, saya "menangkap" orang yang mengenal mereka lalu bertanya, "Apa yang disuka dari orang itu?", dan kalau dia menceritakan kepada saya, "Ini, loh..", saya kemudian akan bertanya, "Lalu ada kejadian yang bagaimana?". Saya pun mendapat satu episode cerita. Kemudian, saya mengingatnya seperti rangkaian adegan film. Dengan demikian tanpa membuat naskah pun, saya dapat berpidato dengan lancar.
0 Comments